Contents
- 1 Asal Usul dan Filosofi di Balik Clorot
- 2 Bahan-Bahan yang Sederhana, Rasa yang Istimewa
- 3 Proses Pembuatan Clorot yang Penuh Seni
- 4 Aroma Janur yang Menggoda Selera
- 5 Clorot dalam Kehidupan Sosial dan Budaya
- 6 Perbandingan Clorot dengan Kue Tradisional Lain
- 7 Inovasi Clorot di Masa Kini
- 8 Clorot dan Ekonomi Lokal
- 9 Cara Menikmati Clorot dengan Sempurna
- 10 Clorot di Mata Generasi Muda
- 11 Mengapa Clorot Layak Dilestarikan
- 12 Penutup: Rasa yang Melekat dalam Ingatan
- 13 Author
Clorot Pernahkah kamu mencicipi kue tradisional yang unik karena dibungkus dengan daun kelapa muda yang digulung rapi seperti terompet kecil? Ya, itulah clorot. Kudapan manis ini dikenal juga dengan nama celorot di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Walau sederhana, clorot punya daya tarik tersendiri—baik dari bentuknya yang lucu, aromanya yang khas, hingga rasa manis gurih yang bikin lidah enggan wikipedia berhenti.
Clorot bukan sekadar camilan biasa. Ia adalah bagian dari cerita panjang kuliner Nusantara yang lahir dari kearifan lokal. Masyarakat zaman dulu menciptakan clorot bukan hanya untuk memanjakan lidah, melainkan juga untuk merayakan kebersamaan. Biasanya, kue ini hadir dalam acara hajatan, selametan, atau kenduri desa. Bahkan, di beberapa tempat, clorot menjadi simbol rasa syukur atas hasil panen.
Asal Usul dan Filosofi di Balik Clorot
Meski tidak ada catatan tertulis yang pasti, banyak yang percaya bahwa clorot berasal dari wilayah Purworejo dan Wonosobo, Jawa Tengah. Dari sanalah clorot mulai menyebar ke berbagai daerah, terutama di pesisir utara Jawa. Di sana, clorot berkembang dengan variasi rasa dan bentuk yang berbeda-beda, tergantung bahan yang tersedia dan selera masyarakat setempat.

Secara etimologis, kata clorot atau celorot diyakini berasal dari kata dalam bahasa Jawa yang berarti menyembul keluar. Hal ini menggambarkan bentuk adonan yang biasanya muncul di ujung gulungan daun janur setelah dikukus. Filosofinya sederhana namun dalam: clorot melambangkan keceriaan, kesederhanaan, dan kebersamaan. Karena itulah, kue ini sering disajikan dalam suasana penuh sukacita.
Bahan-Bahan yang Sederhana, Rasa yang Istimewa
Keistimewaan clorot justru terletak pada kesederhanaannya. Hanya dengan bahan-bahan dasar yang mudah ditemukan di dapur tradisional, kamu sudah bisa membuat clorot yang lezat.
Berikut bahan utamanya:
Tepung beras
Santan kelapa
Gula merah (kadang diganti gula kelapa)
Daun pandan
Garam secukupnya
Daun janur muda untuk pembungkus
Semua bahan ini bekerja sama menciptakan harmoni rasa yang manis, gurih, dan harum alami. Tepung beras memberikan tekstur lembut, santan menambah kekayaan rasa, sementara daun pandan memberi aroma khas yang menenangkan. Sementara itu, gula merah memberikan warna kecokelatan yang menggoda.
Meskipun sederhana, kunci utama kelezatan clorot ada pada keseimbangan rasa dan kekentalan adonan. Terlalu cair, clorot akan lembek; terlalu kental, ia jadi keras. Maka, pembuat clorot yang berpengalaman tahu betul bagaimana menjaga proporsi bahan agar hasilnya sempurna.
Proses Pembuatan Clorot yang Penuh Seni
Membuat clorot bukan sekadar memasak—itu adalah seni. Prosesnya membutuhkan ketelatenan, terutama saat menggulung daun janur menjadi bentuk corong kecil. Daun janur tidak boleh terlalu tua atau terlalu muda, karena akan memengaruhi ketahanan dan aroma kue.
Berikut langkah-langkah umum membuat clorot:
Siapkan janur kelapa muda. Potong janur sekitar 30 cm, kemudian bentuk menjadi corong kecil. Gulung hingga rapat agar tidak bocor.
Rebus gula merah dengan santan dan daun pandan. Setelah mendidih, saring untuk memisahkan ampas.
Campurkan tepung beras ke dalam larutan santan manis tadi. Aduk hingga halus dan tidak menggumpal.
Tuang adonan ke dalam janur. Pastikan tidak terlalu penuh agar tidak meluap saat dikukus.
Kukus selama 20–30 menit. Setelah matang, biarkan clorot sedikit dingin sebelum disajikan.
Meski terdengar mudah, tahap menggulung dan menuang adonan sebenarnya cukup menantang. Tidak heran, di pasar-pasar tradisional, para penjual clorot biasanya sudah terampil melakukannya dengan gerakan cepat dan lincah. Saat kamu melihatnya langsung, kamu pasti kagum betapa rapi dan indah hasil gulungannya.
Aroma Janur yang Menggoda Selera
Salah satu hal yang membuat clorot istimewa adalah aroma janur kelapa muda. Ketika clorot dikukus, uap panas membawa keluar wangi lembut janur yang bercampur dengan harum pandan dan santan. Aromanya benar-benar menggugah selera.
Setiap kali membuka bungkus clorot, sensasi pertama yang datang adalah perpaduan harum lembut dan manis alami. Bagi banyak orang Jawa, aroma ini bisa membangkitkan kenangan masa kecil—saat nenek atau ibu sibuk menyiapkan jajanan pasar untuk sarapan atau acara keluarga.
Clorot dalam Kehidupan Sosial dan Budaya
Clorot bukan hanya makanan; ia adalah bagian dari identitas budaya masyarakat Jawa. Banyak acara adat yang menjadikan clorot sebagai pelengkap sesaji, misalnya dalam upacara selametan desa atau nyadran. Dalam konteks ini, clorot tidak sekadar dimakan, tapi juga dianggap simbol kesucian dan rasa syukur.
Selain itu, clorot juga hadir di pasar-pasar tradisional, terutama pada pagi hari. Biasanya dijual bersama kue basah lain seperti klepon, lupis, dan cenil. Harganya terjangkau, namun maknanya dalam. Masyarakat membeli clorot bukan hanya karena rasanya, tetapi juga karena ia mengingatkan pada nilai-nilai sederhana yang mulai jarang dijumpai di tengah kehidupan modern.
Perbandingan Clorot dengan Kue Tradisional Lain
Jika dibandingkan dengan jajanan pasar lainnya, clorot punya keunikan tersendiri.
Misalnya, klepon dan lupis menggunakan parutan kelapa sebagai pelengkap, sementara clorot mengandalkan bungkus janur sebagai daya tarik utama. Selain itu, tekstur clorot lebih halus dan lembut karena terbuat dari tepung beras yang dimasak dengan santan.
Perbedaan lainnya terletak pada cara penyajian. Jika sebagian besar kue basah disajikan terbuka, clorot justru tampil dengan bungkus rapat yang menggoda rasa penasaran. Hal ini sekaligus menjaga kebersihan dan keawetan kue.
Inovasi Clorot di Masa Kini
Menariknya, clorot kini mengalami banyak inovasi. Beberapa penjual muda mulai menghadirkan varian rasa modern, seperti clorot cokelat, pandan, bahkan durian. Ada juga yang mengganti janur dengan daun pisang untuk tampilan lebih praktis. Namun, sebagian pecinta kuliner tradisional tetap menganggap versi asli yang dibungkus janur adalah yang paling otentik.
Tak hanya itu, clorot kini sering tampil di festival kuliner daerah. Banyak wisatawan lokal maupun mancanegara tertarik mencoba kue unik ini karena tampilannya eksotis dan cita rasanya autentik.
Inovasi tersebut membuktikan bahwa clorot masih relevan di tengah derasnya arus modernisasi kuliner. Ia berhasil mempertahankan eksistensinya tanpa kehilangan jati diri.
Clorot dan Ekonomi Lokal
Tak bisa dipungkiri, clorot juga memberi dampak positif bagi ekonomi masyarakat desa. Banyak ibu rumah tangga dan pengrajin kecil yang menggantungkan penghasilan dari membuat clorot. Karena bahan-bahannya murah dan mudah diperoleh, modal yang dibutuhkan tidak besar, sementara permintaan pasar cukup stabil.
Beberapa daerah bahkan menjadikan clorot sebagai ikon kuliner lokal. Misalnya, di Wonosobo dan Purworejo, clorot sering dijadikan oleh-oleh khas. Wisatawan yang datang biasanya membawa pulang clorot sebagai buah tangan.
Dengan cara ini, clorot tidak hanya menjadi makanan, tapi juga bagian dari rantai ekonomi yang memperkuat kesejahteraan masyarakat.
Cara Menikmati Clorot dengan Sempurna
Cara makan clorot juga unik. Kamu tidak langsung menggigitnya seperti kue biasa. Pertama-tama, buka ujung gulungan janur, lalu dorong perlahan dari bagian bawah agar isinya keluar sedikit demi sedikit. Cara ini memberi pengalaman tersendiri—ada sensasi tradisional yang sederhana tapi menyenangkan.
Biasanya clorot dinikmati dengan secangkir teh hangat atau kopi hitam. Kombinasi rasa manis dan gurih dari clorot berpadu sempurna dengan pahit lembut minuman itu. Momen santai di pagi atau sore hari jadi terasa lebih hangat.
Clorot di Mata Generasi Muda
Sayangnya, generasi muda sekarang tidak semua mengenal clorot. Banyak yang lebih akrab dengan kue modern seperti brownies, donat, atau cake keju. Padahal, di balik kesederhanaan clorot, tersimpan nilai sejarah dan filosofi yang mendalam.

Untungnya, mulai banyak content creator dan pegiat kuliner yang berupaya mengenalkan kembali clorot melalui media sosial. Foto-foto cantik clorot dengan pencahayaan estetik mulai ramai di Instagram, TikTok, dan YouTube. Mereka menampilkan clorot bukan sekadar makanan, tapi juga sebagai warisan budaya yang harus dijaga.
Dengan cara ini, clorot kembali mendapat tempat di hati anak muda. Bahkan, beberapa kafe tradisional mulai menyajikan clorot sebagai menu dessert lokal, memberi sentuhan baru tanpa menghilangkan cita rasa aslinya.
Mengapa Clorot Layak Dilestarikan
Clorot bukan sekadar jajanan manis; ia adalah simbol ketekunan, kreativitas, dan kehangatan masyarakat Indonesia. Dari bahan sederhana, masyarakat mampu menciptakan kue dengan cita rasa khas yang tak tergantikan.
Melestarikan clorot berarti melestarikan identitas budaya dan kuliner lokal. Jika kita tidak peduli, bukan tak mungkin suatu hari nanti kue-kue tradisional seperti clorot hanya tinggal cerita di buku sejarah. Padahal, setiap gigitan clorot adalah cerminan dari perjalanan panjang nenek moyang dalam menciptakan kebahagiaan sederhana.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk terus mendukung keberadaan clorot—baik dengan membeli, membuat, maupun memperkenalkannya ke generasi berikutnya. Karena sejatinya, menjaga tradisi bukan berarti menolak modernitas, melainkan menemukan cara agar keduanya bisa berjalan berdampingan.
Penutup: Rasa yang Melekat dalam Ingatan
Clorot mengajarkan kita tentang makna kebahagiaan yang sederhana. Ia tidak butuh tampilan mewah untuk memikat hati. Dengan bungkus janur yang lembut dan aroma gula merah yang harum, clorot mampu menghadirkan nostalgia dan kehangatan keluarga.
Setiap kali menyantap clorot, seolah kita diajak kembali ke masa lalu—ke dapur nenek yang dipenuhi uap kukusan dan tawa anak-anak menunggu jajanan matang. Di situlah letak keajaiban clorot: ia tidak hanya memuaskan perut, tetapi juga menghangatkan jiwa.
Temukan Informasi Lengkapnya Tentang: Kuliner
Baca Juga Artikel Ini: Kue Pancong: Sensasi Manis Tradisi yang Tak Pernah Pudar




